TEKNOLOGI

Tolak Asian Zero Emission Community, Walhi Sebut Tidak Menjawab Persoalan Mendasar

Jakarta – Wahana Lingkungan Hidup Indonesia atau Walhi menyatakan penolakan terhadap inisiatif Asian Zero Emission Community (AZEC). Walhi sama-sama beberapa koalisi warga sipil seperti JATAM, KRuHA, CELIOS lalu Oil Change International melakukan aksi simbolik di tempat Kedutaan Besar Negeri Sakura bersamaan dengan momen Ministrial Meeting AZEC di area Indonesia.

Manajer Kampanye Hutan dan juga Kebun Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Uli Arta Siagian menyebutkan proyek AZEC lalu proyek zero emission lain yang digunakan berkaitan dengan iklim punya satu kesamaan, yakni tak melakukan koreksi dasar di memaknai energi. 

“Ketika kita membicarakan energi, semua pikiran kita, semua imajinasi kita menjadi menyempit, ketika kita omongin energi, pasti kita berpikir materi bakar. Ketika kita bicara energi kita bicara listrik, tapi sebenarnya makna dari energi itu berjauhan dari itu. Lebih dari itu, ketika petani masih mampu beraktivitas untuk bertani lalu energi dia untuk mengupayakan lahan pertanian tetap saja produktif itu masih masuk kategori sebagai energi, pangan juga sebagai energi,” kata Uli terhadap Tempo, Selasa, 20 Agustus 2024.

Penyempitan makna itu, kata Uli, berimplikasi untuk model konsumsi terhadap energi listrik dipandang pada bentuk energi materi bakar. “Semua hal yang mana berkaitan dengan zero emission lalu transisi energi, semua hal yang digunakan terkait dengan energi hijau juga lain sebagainya cuma sebagai greenwashing,” ujarnya.

AZEC adalah sistem kerja serupa untuk menggalakkan pencapaian emisi nol bersih pada kawasan, di tempat mana Indonesia merupakan co-initiator dengan dengan Jepang. Negara kontestan AZEC selain Indonesia serta Negeri Sakura adalah Australia, Brunei Darussalam, Filipina, Kamboja, Laos, Malaysia, Singapura, Thailand, serta Vietnam.

Sebelumnya, KTT AZEC telah terjadi menciptakan Leaders’ Joint Statement yang berisi antara lain komitmen memenuhi Paris Agreement yang seiring dengan perkembangan kegiatan ekonomi lalu ketahanan energi kemudian perlunya pendekatan yang digunakan dibuat sesuai permintaan dan juga kondisi setiap negara menuju dekarbonisasi.

Sementara bidang kerja sebanding yang mana dicakup dari 24 MoU antara Indonesia dengan Jepang, antara lain meliputi pelatihan untuk memperkenalkan transisi energi, waste to energy, dekarbonisasi, pengembangan transmisi listrik, geothermal, dan juga green ammonia.

Menurut Uli, kebijakan transisi energi dan juga inovasi iklim seperti AZEC tidaklah mampu menjawab persoalan mendasar perihal konsumsi energi di dalam Indonesia. Uli menyebutkan seluruh kegiatan pemerintah belaka sebatas label hijau agar sanggup masih melakukan ekstraksi terhadap energi fosil untuk menghidupkan roda industrialisasi. “Lagi-lagi energi jatuh sebagai komoditas, tidak sebagai hak. Walhi menetapkan hal seperti ini sebagai solusi palsu,” ucapnya.

Salah satu bukti paling aktual, kata Uli, yakni klaim pemerintah terkait upaya dekarbonisasi dengan mengkategorikan pembangkit listrik tenaga geothermal atau panas bumi juga Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Co-firing sebagai energi bersih. Menurut Uli, kedua model pembangkit listrik yang dimaksud masih berbasis pemakaian lahan yang mana besar dengan modal yang digunakan pasti juga besar. 

“Pasti dalam bawah, atau tataran implementasi pasti tidaklah lepas dari praktek pelanggaran HAM pada bentuk perampasan wilayah ruang, misalnya panas bumi di tempat Sorik Marapi dan juga Poco Leok, ini model pembangkit listrik yang digunakan skala besar berbasis lahan,” ungkapnya.

Pilihan Editor: Pendaki Nyaris Ditelan Material Erupsi Gunung Dukono, PVMBG Beri Peringatan

Related Articles

Back to top button