Setelah Dihantam Badai Rebalancing MSCI: Sanggupkah IHSG Balas Dendam?

- Pasar keuangan Indonesia fase belur pada perdagangan kemarin, rupiah juga IHSG jeblok
- Wall Street pesta pora menjauhi kebijakan The Fed juga pertandingan Trump-Jinping
- Rebalancing MSCI dan data ekonomi global akan berubah menjadi penggerak sentimen hari ini
Jakarta – Awal pekan ini bursa keuangan Tanah Air dibuka dengan performa yang digunakan kurang baik, pergerakan Angka Harga Saham Gabungan (IHSG) juga rupiah terhadap dolar Amerika Serikat sama-sama berada di zona pelemahan.
Kabar penyesuaian perhitungan float Nusantara oleh Morgan Stanley Capital International (MSCI), berhasil mengupayakan penanam modal asing kabur ramai-ramai dari Bursa Saham Tanah Air pada perdagangan kemarin. Namun, penurunan tajam kemarin justru memberikan prospek rebound hari ini.
Selengkapnya mengenai sentimen dan juga proyeksi bursa hari ini dapat dibaca pada halaman 3 pada artikel ini. Dan para penanam modal juga dapat mengintip rencana lalu rilis data yang tersebut terjadwal untuk hari ini baik di negeri dan juga luar negeri pada halaman 4.
Pada perdagangan Awal Minggu (27/10/2025), IHSG ditutup terkapar 1,87% di level 8.117,15. Pada perdagangan intraday, IHSG sempat turun hingga 3,70% ke level 7.965,47 sebelum akhirnya berhasil ditarik pada pembukaan II ke level psikologis 8.100.
    
Pada akhir perdagangan kemarin, tercatat berjumlah 506 saham turun, 234 naik, kemudian 216 tidaklah bergerak. Angka proses mencapai Rupiah 28,68 triliun, melibatkan 37,95 miliar saham di 2,85 jt kali transaksi.
Investor asing masih mencatat net buy sebesar Mata Uang Rupiah 1,2 triliun pada perdagangan kemarin.
Mengutip Refinitiv, belaka sektor keseimbangan yang dimaksud menguat, sedangkan sisanya mengalami koreksi. Energi turun paling dalam, yakni -5,81%. Lalu disertai oleh material baku -3,97% juga properti -3,93%.
Sejumlah saham konglomerat menjadi pemberat utama. Dian Swastatika Sentosa (DSSA) menyumbang beban paling besar, yakni -50,35 indeks poin. Emiten grup Sinar Mas itu pada kemarin turun 12,83% ke level 88.800.
Kemudian saham Prajogo Pangestu, bila ditotal menyumbang -38,29 indeks poin. Akan tetapi nomor itu mengalami perbaikan setelahnya sebelumnya pada sesi I menyumbang -61,78 indeks poin.
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori Ekky Topan mengungkapkan bahwa saham Prajogo ambruk seiring dengan muncul isu inovasi perhitungan MSCI serta kabarnya akan menyebabkan saham Prajogo terdepak.
“Tapi ya itu issue, real dari MSCI belum keluar, tapi effectnya pemodal panic selling duluan,” katanya untuk CNBC Indonesia, Mulai Pekan (27/10/2025).
Managing Director Solstice Handiman menjelaskan bahwa selama ini, saham yang dimiliki oleh korporasi serta lain-lain diluar pemegang saham mayoritas/pengendali) bisa jadi dihitung sebagai free float oleh MSCI.
Akan tetapi pada aturan baru yang beredar, hal itu akan dianggap sebagai non-free float. “Hal ini kemungkinan akan berdampak terhadap terpenuhinya minimum free float-adjusted market cap untuk masuk ke pada index MSCI,” katanya.
Handiman menafsirkan aturan yang dimaksud sebenarnya lebih lanjut fair. oleh karena itu MSCI mendefinisikan free float sebagai proporsi saham yang dimaksud tersedia untuk dibeli oleh pemodal pada bursa ekuitas.
“Namun cukup banyak saham di dalam bursa yang dimiliki oleh pihak tertentu, misalnya pendiri lalu pihak berelasi, private equity, cross-holding pada satu konglomerasi, yang mana tujuannya strategis, dalam mana saham ini tak diperdagangkan pada pasar,” katanya.
Sementara itu, Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif dan juga Bursa Karbon Inarno Djajadi memandang penurunan yang dimaksud terbilang wajar lantaran pada beberapa waktu terakhir IHSG melakukan aksi naik bahkan menyentuh rekor tertinggi.
Beralih ke rupiah, nilai tukar rupiah terhadap dolar Negeri Paman Sam pada Mulai Pekan (27/10/2025) melemah ke kedudukan Rp16.610/US$1 atau terdepresiasi 0,12%.
    
Pelemahan rupiah kali ini dipengaruhi oleh sentimen eksternal juga internal. Dari sisi global, pelaku lingkungan ekonomi sedang mengantisipasi kebijakan suku bunga Amerika Serikat (AS) yang akan diberitahukan usai rapat Federal Open Market Committee (FOMC) pada 29-30 Oktober 2025, dengan hasil dipublikasikan pada Kamis (30/10/2025) dini hari waktu Indonesia.
Mengacu pada CME FedWatch Tool, probabilitas The Federal Reserve (The Fed) memangkas suku bunga acuannya sebesar 25 basis poin (bps) mencapai 98,1%.
Jika pemangkasan benar terjadi, langkah yang disebutkan mungkin menekan dolar Amerika Serikat lalu memberikan sentimen positif bagi rupiah juga aset berisiko ke negara berkembang.
Dari sisi di negeri, tekanan terhadap rupiah juga datang dari keluarnya penanam modal asing dari lingkungan ekonomi keuangan domestik.
Berdasarkan data Bank Tanah Air (BI), sepanjang periode 20-23 Oktober 2025, penanam modal asing mencatatkan net outflow sebesar Rp0,94 triliun, meskipun jumlah keseluruhan ini turun dibandingkan pekan sebelumnya yang mana mencapai Rp16 triliun.
Rinciannya, terjadi jualan bersih (net sell) di dalam bursa Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp2,73 triliun, dan juga pada Sekuritas Rupiah Bank Nusantara (SRBI) senilai Rp1,28 triliun. Sementara itu, hanya saja bursa saham yang dimaksud masih mencatatkan data net inflow dari asing sebesar Rp3,08 triliun.
Kondisi yang dimaksud menunjukkan bahwa pemodal global masih berhati-hati terhadap aset keuangan Tanah Air mendekati kebijakan suku bunga The Fed.
Adapun dari lingkungan ekonomi obligasi Indonesia, pada perdagangan Awal Minggu (27/10/2025) imbal hasil obligasi tenor 10 tahun naik 0,05% di level 5,9238%.
Sebagai informasi, imbal hasil obligasi yang mana menguat menandakan bahwa para pelaku pangsa sedang membuang surat berharga negara (SBN). Begitu pun sebaliknya, imbal hasil obligasi yang digunakan melemah menandakan bahwa para pelaku pangsa sedang kembali mengoleksi surat berharga negara (SBN).
Wall Street Kembali Berpesta Pora
 
				 
					


