Pacu Kudo, Detak Warisan ke Tanah Pabasko

PADANG PANJANG – Di tanah Bancah Laweh, Padang Panjang, pengumuman derap kuda akan kembali menggema. Mingguan ini, Alek Anak Nagari Pabasko 2025 dijalankan pada semarak ‘Pacu Kuda Pengurus Cup III’, yang tersebut akan segera memacu adrenalin lalu kebanggaan urang awak pada ‘Ahad, 26 Oktober 2025’.
Sebanyak 59 kuda pacu dari beraneka wilayah siap berlaga dalam jalur Bancah Laweh—dari Aceh, Medan, Payakumbuh, Batusangkar, Bukittinggi, Pariaman, Solok, Sawahlunto, hingga tuan rumah Padang Panjang. Ajang ini berubah menjadi salah satu yang paling ditunggu pencinta pacu kudo ke Sumatera Barat.
“Alhamdulillah, animo kontestan sangat tinggi. Hingga hari ini telah ada 59 kuda yang akan turun ke bermacam kelas. Kami juga telah lama berkoordinasi dengan Polres, TNI, Satpol PP, juga tim pengamanan dari penduduk agar penyelenggaraan berjalan aman juga tertib, ” ujar Ketua Panitia, Delius Putra, Kamis (23/10/2025).
Beragam kelas dipertandingkan—mulai dari Draft Bogie Baru Heat 1 kemudian 2, Draft Bogie Usang Lamo, Kelas Lokal, CD Awal 600 Meter, CD Pemula 800 Meter, D Terbuka 1000 Meter, E Terbuka 1200 Meter, Remaja 1200 Meter, Derby Divisi II juga I 1400 Meter, hingga Terbuka 4 Tahun 1600 Meter.
Namun dalam balik nomor juga daftar kelas itu, tersimpan makna yang mana lebih banyak dalam. Pacu kudo tidak sekadar lomba kecepatan. Ia adalah ‘alek’, perayaan yang mana memadukan sportivitas, silaturahmi, dan juga kebanggaan akan akar budaya nagari.
𝐋𝐞𝐛𝐢𝐡 𝐝𝐚𝐫𝐢 𝐒𝐞𝐤𝐚𝐝𝐚𝐫 𝐋𝐨𝐦𝐛𝐚
Bagi sebagian warga luar, pacu kudo hanya saja tontonan sesaat. Tapi bagi komunitas Minangkabau, alek ini adalah bagian dari identitas. Ia menyebabkan kenangan masa kecil, hiruk pikuk pasar, kemudian aroma tanah basah selepas hujan. Ia menyatukan kembali anak nagari yang mana merantau jauh.
Setiap kali alek digelar, jalanan menuju lapangan penuh sesak. Anak-anak berlari di tepi pagar, khalayak tua duduk di bawah tenda, sementara para joki muda menatap rute dengan penuh tekad. Sorak penonton berpadu dengan teriakan pemilik kuda—suasana yang digunakan cuma dapat ditemui dalam ranah Minang.
“Event Alek Anak Nagari Pabasko ini selalu dinantikan rakyat juga pencinta pacu kuda pada Sumatera Barat. Selain berubah menjadi kompetisi olahraga tradisional yang tersebut bergengsi, kegiatan ini juga diharapkan mampu mempererat silaturahmi antardaerah dan juga menggerakkan perekonomian rakyat sekitar, ” tutur Delius.
Dan benar. Di setiap derap kuda yang tersebut berpacu, dunia usaha rakyat mengambil bagian bergerak. Dari penjual sate, katupek pitalah, soto padang, lapek, paragede, pinungkuik, aneka karupuak, es tebu, es buah, hingga pedagang souvenir, semuanya kebagian rezeki. Hotel lokal akan penuh, ojek sibuk, lalu lapangan pacu bermetamorfosis menjadi pusat perhatian sektor ekonomi rakyat yang digunakan berpacu sama-sama semangat nagari.
𝐀𝐫𝐞𝐧𝐚 𝐒𝐢𝐥𝐚𝐭𝐮𝐫𝐚𝐡𝐦𝐢 𝐝𝐚𝐧 𝐌𝐚𝐫𝐰𝐚𝐡 𝐍𝐚𝐠𝐚𝐫𝐢
Lebih jauh, Delius Putra menegaskan bahwa, “arena pacu kuda Bancah Laweh tidak cuma gelanggang lomba, tapi juga tempat silaturahmi ninik mamak, anak kemenakan, dan juga tokoh-tokoh nagari ke wilayah Padang Panjang–Batipuh X Koto.”
Secara historis, wilayah ini memang benar miliki hubungan kultural lalu genealogis yang erat. ‘Alek pacu kudo’ bermetamorfosis menjadi wadah bertemunya para ninik mamak dari bermacam suku, tokoh adat, anak-kemenakan bersua pada suasana gembira. Mereka datang tidak cuma untuk menonton, tetapi untuk memperbaharui hubungan sosial yang digunakan berubah menjadi kekuatan Minangkabau sejak dahulu.
“Pacu kudo ini tidak semata-mata olahraga, tapi event pulang basamo. Tempat ninik mamak lalu anak kemenakan bertemu, saling sapa, kemudian mempererat tali silaturahmi yang tersebut sekarang mulai renggang di dalam generasi muda, ” ujar Delius dengan nada penuh harap.
Di berada dalam hidup modern yang tersebut serba sibuk dan juga individualistis, tradisi seperti ini menjadi ruang penting untuk mengingat kembali jati diri kita sebagai ‘urang basuku, urang banagari’. Di sinilah nilai-nilai sosial Minangkabau hidup—rasa hormat terhadap mamak, tanggung jawab terhadap kemenakan, kemudian semangat kebersamaan yang dimaksud melampaui batas waktu.
𝐑𝐮𝐡 𝐁𝐮𝐝𝐚𝐲𝐚 𝐲𝐚𝐧𝐠 𝐓𝐚𝐤 𝐏𝐞𝐫𝐧𝐚𝐡 𝐏𝐚𝐝𝐚𝐦
Pacu kudo adalah warisan dari masa lampau, di mana tanah lapang tidak sekadar tempat bermain, tetapi ruang sosial yang tersebut menyatukan masyarakat. Di sana, laki-laki menunjukkan keberanian, perempuan menyiapkan hidangan, juga anak-anak belajar tentang makna persaingan sehat.
Bagi joki lalu pelatih, kuda tidak hanya saja alat lomba. Ia seperti sahabat. Setiap langkahnya dijaga, setiap napasnya dihitung. Ada hubungan batin yang dimaksud tak terlihat antara joki serta kudanya. Itulah sebabnya, ke setiap garis finis, yang tersebut terlihat bukanlah hanya saja pemenang, tapi juga cerita panjang tentang dedikasi kemudian cinta pada tradisi.
𝐀𝐧𝐭𝐚𝐫𝐚 𝐌𝐨𝐝𝐞𝐫𝐧𝐢𝐭𝐚𝐬 𝐝𝐚𝐧 𝐖𝐚𝐫𝐢𝐬𝐚𝐧
Zaman boleh berganti, tapi ‘alek’ harus permanen berdenyut. pemerintahan tempat sekarang menempatkan pacu kudo bukanlah hanya sekali sebagai tradisi, tapi juga peluang wisata budaya dan juga kegiatan ekonomi kreatif.
Event seperti ‘Gubernur Cup III’ bermetamorfosis menjadi peluang strategis untuk mengangkat citra Padang Panjang sebagai kota yang digunakan tak semata-mata religius, tapi juga kaya budaya. Kerjasama antara pemerintah, masyarakat, kemudian komunitas pacu kuda patut diapresiasi. Namun di sisi lain, modernisasi ini wajib dijaga agar bukan mengikis nilai-nilai luhur yang mana berubah jadi ruhnya: ‘kebersamaan, gotong royong, serta penghormatan terhadap adat kemudian warisan budaya’
Pacu kudo bukan lahir dari ambisi hadiah, tapi dari semangat nagari untuk berpacu di kehormatan. Karena itu, semakin megah acaranya, semakin perlu diingat maknanya. Jangan sampai tradisi yang dimaksud lahir dari tanah sendiri berubah berubah menjadi sekadar tontonan yang dimaksud kehilangan jiwa.
𝐌𝐞𝐦𝐞𝐫𝐢𝐚𝐡𝐤𝐚𝐧 𝐀𝐥𝐞𝐤 𝐍𝐚𝐠𝐚𝐫𝐢
Kini, mendekati hari pelaksanaan, penduduk Padang Panjang juga sekitarnya diundang untuk ‘memeriahkan sama-sama Alek Anak Nagari Pabasko 2025’.
Mari ramai-ramai ke Bancah Laweh ‘Minggu, 26 Oktober 2025’. tidak sekadar menyaksikan derap kuda, tapi untuk menyaksikan denyut hidup warisan Minang yang digunakan masih berpacu pada dada kita sendiri.
Karena selama kuda masih berpacu, selama debu Bancah Laweh masih beterbangan pada bawah kaki penunggangnya, selama itu pula semangat nagari takkan pernah padam. (*)
Oleh: Indra Gusnady, penulis serta pengamat kebudayaan dari Padang Panjang, Sumatera Barat



