OLAHRAGA

MK Lagi-Lagi Tolak Gugatan Pajak Pesangon serta Uang Pensiun

Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menolak gugatan uji materiil terhadap ketentuan undang-undang yang digunakan mengatur tentang pajak pesangon dan juga pensiun.

Gugatan yang digunakan kembali ditolak para hakim MK itu terkait Pasal 4 ayat (1) huruf a kemudian Pasal 17 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan (UU PPh) sebagaimana telah terjadi diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).

Penolakan untuk kedua kalinya yang dimaksud diputuskan para hakim MK itu untuk perkara Nomor 186/PUU-XXIII/2025. Para pemohon perkara yang semula berjumlah 9 orang, kemudian bertambah berubah menjadi 12 orang. Mereka terdiri dari para pekerja bank swasta dalam bank yang mana berbeda, dan juga satu pendatang ketua umum serikat karyawan pada bank yang tersebut mengajukan gugatan pada 10 Oktober 2025.

Para pemohon itu di antaranya ualah Jamson Frans Gultom, Agus Suwargi, Budiman Setyo Wibowo, Wahyuni Indrjanti, Jamil Sobir, Lyan Widiya, Muhammad Anwar, Cahya Kurniawan, Aldha Reza Rizkiansyah.

Ketua MK Suhartoyo di sidang pengucapan Putusan Nomor 186/PUU-XXIII/2025 pada Kamis (13/11/2025) mengatakan, permohonan pengujian materiil di Perkara Nomor Nomor 186/PUU-XXIII/2025 itu juga bukan dapat diterima, dikarenakan mahkamah mengkaji permohonan para pemohon masih tidak ada jelas atau kabur.

“Karena permohonan Pemohon tidak ada jelas atau kabur atau obscuur, maka Mahkamah tidaklah mempertimbangkan kedudukan hukum kemudian pokok permohonan para Pemohon lebih banyak lanjut,” ujar Ketua MK Suhartoyo, diambil hari terakhir pekan (14/11/2025).

Suhartoyo menjelaskan, setelahnya Mahkamah mencermati rumusan Pasal 4 ayat (1) huruf a di Pasal 3 bilangan bulat 1 UU 7/2021 ternyata tiada terdapat frasa “tunjangan juga uang pensiun” sebagaimana dimaksud para pemohon, melainkan kata “tunjangan” juga frasa “uang pensiun” yang digunakan per individu terpisah dan juga tidak ada pada satu kesatuan frasa.

Selain itu, pada bagian petitum nomor 1, para Pemohon menambahkan uraian kalimat alasan permohonan yang digunakan seharusnya diuraikan pada bagian posita sehingga hal yang disebutkan menyebabkan ketidakjelasan petitum bilangan bulat 1.

Kemudian, pada bagian petitum bilangan bulat 2, para Pemohon meminta-minta Pasal 17 ayat (1) huruf a dinyatakan konstitusional bersyarat sebagaimana yang digunakan diinginkannya. Namun, pada alasan permohonan, para Pemohon hanya sekali menyebutkan pertentangan Pasal 17 secara keseluruhan, sehingga Mahkamah memandang para Pemohon tidak ada konsisten.

“Amar putusan, mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon Nomor 186/PUU-XXIII/2025 tak dapat diterima,” kata Suhartoyo.

Sebagai informasi, Pasal 4 ayat (1) UU PPh yang digunakan berubah jadi gugatan para pemohon menyebutkan “Yang berubah menjadi objek pajak adalah penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang tersebut diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Tanah Air maupun dari luar Indonesia, yang tersebut dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama kemudian pada bentuk apapun, termasuk dalam dalamnya: a. Gaji, upah, komisi, bonus atau gratifikasi, uang pensiun atau imbalan lainnya untuk pekerjaan yang tersebut dilakukan.”

Sementara itu, Pasal 17 UU PPh mengatur tentang tarif progresif berdasarkan lapisan penghasilan. Tarif ini diterapkan untuk pemotongan PPh Pasal 21 berhadapan dengan penghasilan pegawai terus pada masa pajak terakhir, pegawai tiada masih dengan penghasilan tidaklah dibayar bulanan dengan jumlah keseluruhan lebih banyak dari Rupiah 2,5 jt per hari, bukanlah pegawai, partisipan kegiatan, pegawai yang mana melakukan evakuasi dana pensiun, dan juga mantan pegawai.

Menurut para Pemohon, ketentuan yang disebutkan mengakibatkan implikasi pesangon dan juga pensiun yang pada hakikatnya merupakan hak normatif pekerja pasca puluhan tahun bekerja diperlakukan setara dengan tambahan penghasilan baru yang mana lahir dari aktivitas ekonomi.

Menurut para Pemohon, secara filosofis lalu sosiologis, pesangon serta pensiun sebanding sekali tak dapat disamakan dengan keuntungan bisnis atau laba modal, melainkan merupakan bentuk tabungan terakhir hasil jerih payah pekerja sepanjang hidupnya.

Pemerintah dan juga DPR menganggap pajak pesangon yang mana diterima sekaligus sebagai tambahan kemampuan ekonomis, padahal ini adalah tabungan yang dipotong dari upah tiap bulan kemudian penghargaan dari perusahaan untuk karyawan yang tersebut memasuki masa pensiun berhadapan dengan jasa-jasa dan juga pengabdiannya bagi perusahaan.

Para Pemohon berpendapat apabila dilihat dari perspektif konstitusi, kebijakan yang dimaksud telah lama mengaburkan makna Pasal 27 ayat (2) UUD 1945. Uang pesangon, kegunaan pensiun, Keamanan Hari Tua (JHT), di antaranya Tabungan Hari Tua (THT) merupakan bagian integral dari penghidupan yang mana layak. Karena itu, pengenaan pajak terhadap hak-hak yang dimaksud berarti mereduksi hak konstitusional pekerja untuk hidup secara layak pasca masa kerja berakhir.

Dalam petitumnya para Pemohon memohon terhadap Mahkamah agar menyatakan Pasal 4 ayat (1) UU HPP sepanjang frasa “tunjangan kemudian uang pensiun” yang digunakan dimasukkan sebagai objek pajak penghasilan yang digunakan berakibat pada pengenaan pajak menghadapi uang pensiun bukan miliki kekuatan hukum mengikat secara bersyarat.

Pemohon menyebutkan kondisi itu tak berlaku serta tak dapat diterapkan untuk menaungi objek pajak yang dimaksud bersifat sebagai dana tabungan jaminan sosial yaitu uang pensiun, Garansi Hari Tua (JHT), kemudian Tunjangan Hari Tua (THT) lantaran dana-dana yang dimaksud tidak merupakan tambahan kemampuan ekonomis melainkan hak sosial pekerja yang mana dijamin Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.

Para Pemohon juga memohon untuk Mahkamah untuk menyatakan Pasal 17 UU PPh juncto UU HPP bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 lalu menafsirkan pasal yang disebutkan hanya sekali konstitusional bersyarat apabila ditafsirkan yang dimaksud dengan penghasilan kena pajak tidaklah mencakup dana kompensasi pascakerja (pesangon, pensiun, THT, dan juga JHT) yang digunakan bersifat sosial, kompensatif, lalu nonproduktif.

Dengan demikian, pengecualian pajak menghadapi dana pascakerja harus dianggap sebagai jaminan konstitusional bukanlah kebijakan fiskal yang digunakan dapat diubah sewaktu-waktu.

Namun, gugatan para pemohon saat ini sudah ada diputuskan tiada dapat diterima oleh para hakim MK, setelahnya sebelumnya juga ada gugatan mirip yang mana ditolak pada 30 Oktober 2025 oleh para hakim MK dengan nomor perkara 170/PUU-XXIII/2025. Gugatan yang tersebut ditolak untuk nomor perkara itu diajukan oleh dua karyawan swasta, Rosul Siregar kemudian Maksum Harahap.

(arj/haa)
[Gambas:Video CNBC] Next Article MK Putuskan Pemilihan Umum Pusat & Lokal Dipisah, Ini adalah Kata Ketua Komisi II DPR

Related Articles

Back to top button