Blog

Menguji Diplomasi Prabowo lewat Daerah Gaza

Eko Ernada
Dosen Hubungan Internasional, Universitas Jember

KEPUTUSAN Presiden Prabowo Subianto untuk mengevakuasi 1.000 warga Palestina dari Gaza, khususnya anak-anak yatim, ke Indonesia menandai langkah awal kebijakan luar negeri yang digunakan ambisius sekaligus kontroversial. Dibalut narasi solidaritas kemanusiaan, kebijakan ini justru memunculkan pertanyaan kritis tentang kesiapan pemerintah, arah diplomasi Indonesia, serta konsistensi prinsip-prinsip kebijakan luar negeri. Apakah ini refleksi dari komitmen moral, atau sekadar manuver simbolik yang digunakan belum matang secara institusional?

Dari perspektif realisme politik, tak ada kebijakan luar negeri yang dimaksud sepenuhnya netral. Tindakan Indonesia pada tindakan hukum Gaza, betapapun berniat baik, masih akan dibaca sebagai pernyataan kedudukan pada konflik yang sangat terpolarisasi. Bila tidaklah dikelola secara hati-hati, Indonesia berisiko bergeser dari sikap sebagai mediator netral menjadi pihak yang dianggap berpihak secara politis—terutama oleh aktor-aktor besar seperti Amerika Serikat kemudian sekutu regionalnya.

Kritik pun bermunculan dari di negeri. Beberapa pengamat menyamakan langkah ini dengan gagasan “Riviera Timur Tengah” yang tersebut pernah dilontarkan Donald Trump—gagasan kontroversial tentang pemindahan warga Kawasan Gaza untuk membuka jalan rekayasa geopolitik baru dalam kawasan. Jika tidak ada disertai dengan penegasan bahwa Indonesia menolak segala bentuk normalisasi pemindahan paksa warga sipil, maka kebijakan ini dapat dibaca sebagai dukungan diam-diam terhadap program yang dimaksud bertentangan dengan prinsip perjuangan kemerdekaan Palestina.

Konflik di area Wilayah Gaza sendiri berada di situasi stagnan juga memburuk. Seperti disoroti Amos Harel pada Foreign Affairs (2025), tanah Israel serta kelompok Hamas tiada menunjukkan niat menuju perdamaian jangka panjang, kemudian gencatan senjata hanya sekali menjadi jeda sementara sebelum eskalasi berikutnya. Dalam situasi ini, setiap langkah eksternal sangat mudah dipolitisasi. Itulah mengapa niat kemanusiaan yang mana tulus sekalipun bisa jadi menjadi bumerang diplomatik jikalau bukan ditopang kebijakan yang matang.

Dalam waktu bersamaan, Prabowo juga berada dalam menggalang kerja mirip perekonomian dengan negara-negara Teluk. Ketertarikan terhadap pembangunan ekonomi dari negara-negara seperti Qatar kemudian UEA wajar, namun menjadi tiada ideal jikalau beriringan dengan sikap luar negeri yang digunakan terlalu akomodatif terhadap narasi kekuatan-kekuatan tersebut. Diplomasi sektor ekonomi yang tersebut tidak ada berjarak dengan jadwal geopolitik mitra justru akan mengurangi kekuatan tempat tawar Indonesia sebagai kekuatan demokrasi Asia. Lebih krusial lagi, Indonesia tidak ada mempunyai kerangka hukum kuat untuk menyokong kebijakan evakuasi pengungsi. Tanpa meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 lalu Protokol 1967, pemerintah harus bergantung pada pendekatan diskresi yang rawan konflik antar-lembaga. Belum lagi ketidaksiapan regulasi imigrasi, sistem pendidikan, dan juga pengamanan hukum bagi anak-anak yang tersebut akan ditempatkan pada Indonesia pada status hukum yang tersebut belum jelas.

Kondisi sosial dunia usaha domestik juga tidak ada menyokong pelaksanaan kebijakan ini tanpa resistensi. Di berada dalam tingginya bilangan bulat pengangguran, naiknya harga pangan, kemudian ketimpangan layanan sosial, masyarakat mampu dengan mudah menilai langkah ini sebagai bentuk kealpaan pemerintah terhadap persoalan di negeri. Maka, strategi komunikasi rakyat harus menjadi prioritas, agar niat solidaritas tidaklah dibaca sebagai pengabaian terhadap rakyat sendiri.

Jika kebijakan ini hendak dijalankan dengan tanggung jawab, maka pemerintah harus segera membentuk gugus tugas lintas kementerian—melibatkan Kemenlu, Kemenkumham, Kemensos, Kemenkes, kemudian Kemendikbudristek—untuk merumuskan skema yang digunakan komprehensif kemudian terukur. Status hukum, pemeliharaan anak, layanan trauma healing, pendidikan, hingga pengawasan pascaevakuasi perlu dipastikan secara administratif kemudian operasional.

Evakuasi tidak sekadar memindahkan anak-anak Palestina dari zona konflik, tetapi memberi mereka pemulihan yang tersebut layak. Ini adalah menuntut ketersediaan psikolog terlatih, pendamping berbahasa Arab, hingga kegiatan sekolah inklusif yang peka budaya. Tanpa kesiapan tersebut, evakuasi mampu menjadi relokasi problem, bukanlah solusi kemanusiaan.

Related Articles

Back to top button