Menghindari Praktik Greenwashing dengan Metodologi INSTAR

Info Event – Sebuah merek besar mengklaim miliki sertifikat berkelanjutan serta produknya ramah lingkungan, namun limbah item yang disebutkan ternyata mencemari sungai. Satu lagi perusahaan mengklaim kemasan produknya dapat didaur ulang, namun kenyataannya komponen yang tersebut digunakan tidak ada memenuhi standar daur ulang.
Dua perkara di dalam berhadapan dengan adalah greenwashing atau praktik memoles citra perusahaan agar terlihat ramah lingkungan. Sejumlah perusahaan mendapatkan penilaian yang mana baik pada sebuah pemeringkatan ESG (environment, social lalu governance) padahal prakteknya dalam lapangan berbeda.
Inilah yang digunakan membedakan INSTAR (Indeks Integrasi Bisnis Lestari) dengan pemeringkatan ESG pada umumnya. Pemeringkatan ESG yang dimaksud lain memiliki majelis juri yang menentukan pemenang. Sedangkan pada INSTAR, peran juri digantikan oleh metodologi.
INSTAR, pemeringkatan ESG yang diinisiasi Tempo Angka Science (TDS), Transparency Interternational Tanah Air (TII) juga Institute for Strategic Initiative (ISI) mengutamakan metodologi sebaga penilai utama.
Menurut Sekjen TII Danang Widoyoko, pemeringkatan ESG yang ditentukan majelis juri memiliki dua kelemahan yakni aspek subjektivitas lalu transparansi di balik keputusan. Kerap kali kebijakan oleh majelis juri sebuah pemeringkatan ESG tidak ada dapat diganggu gugat.
Sedangkan INSTAR memberi kesempatan terhadap perusahaan yang tersebut dinilai untuk memberikan umpan balik (feedback) di tahap verfikasi yang berlangsung selama periode 8 Oktober-29 November 2025. “Kalau perusahaan tiada setuju dengan penilaian kami silakan dikoreksi. Ini adalah sekaligus berubah menjadi edukasi bagi perusahaan untuk memperbaiki diri,” ujar Danang Widoyoko.
INSTAR 2025 akan menunda tahapan dialog atau feedback dikarenakan tahun ini penilaian tahap awal dihadiri oleh 900 perusahaan sedangkan yang dimaksud mencapai nilai threshold serta lolos tahap verifikasi mencapai 479 perusahaan.
Di sebagian pemeringkatan ESG, perusahaan yang dimaksud berubah menjadi partisipan harus mendaftarkan diri terlebih dahulu. Selanjutnya perusahaan-perusahaan yang disebutkan mendeklarasikan acara ESG-nya per individu ke pihak pengurus untuk diperlombakan.
Sedangkan pemeringkatan ESG pada INSTAR bukanlah perlombaan akibat semua perusahaan masyarakat yang terdaftar di dalam Bursa Efek Negara Indonesia (BEI) layak dinilai. INSTAR secara objektif menafsirkan empat komponen yakni laporan tahunan, laporan keberlanjutan, kode etik perusahaan, juga beberapa dokumen terkait.
INSTAR juga menghasilkan keseimbangan penilaian untuk ketiga aspek ESG. Sementara pemeringkatan ESG di dalam tingkat global lebih tinggi banyak menyoroti aspek lingkungan, tapi kurang menganggap aspek sosial lalu tata kelola atau governance.
Dengan kata lain pelopor pemeringkatan ESG yang tersebut lain berupaya memproduksi perusahaan masuk kategori hijau atau baik secara lingkungan hidup tapi mengabaikan hambatan korupsi atau konflik perburuhan, penghargaan terhadap hak-hak asasi manusia, tradisi budaya, kesehatan lalu keselamatan kerja (K3) dan juga serta aspek-aspek sosial lainnya.
“Karena itu kami berpandangan INSTAR harus memberikan penilaian yang tersebut setara untuk ketiga aspek dengan indikator-indikator yang dimaksud lebih banyak lengkap,” kata Direktur TDS Philipus Parera.(*)



