Latar belakang serta kronologi G30S PKI pada sejarah Nusantara

DKI Jakarta – Situasi Aksi 30 September 1965 atau yang lebih lanjut dikenal dengan G30S PKI berubah menjadi salah satu titik penting di sejarah Negara Indonesia modern. Keadaan ini tidak belaka sekadar catatan kelam tentang bidang usaha kudeta, tetapi juga meninggalkan dampak politik, sosial, serta budaya yang tersebut panjang hingga sekarang.
Memahami latar belakang kemudian kronologi G30S PKI menjadi penting agar generasi ketika ini dapat meninjau bagaimana dinamika kekuasaan, ideologi, juga konflik pada masa itu membentuk arah perjalanan bangsa Indonesia.
Berikut ini adalah latar belakang pemberontakan, juga kronologi insiden G30 SPKI di sejarah Indonesia, berdasarkan informasi yang telah dilakukan dihimpun dari bermacam sumber.
Latar belakang pemberontakan G30S PKI
Latar belakang munculnya pemberontakan G30S PKI erat kaitannya dengan keberadaan Partai Komunis Indonesia (PKI) yang tersebut ketika itu berubah menjadi salah satu kekuatan kebijakan pemerintah terbesar pada tanah air.
Menjelang perkembangan kudeta 1965, PKI semakin gencar menyelenggarakan propaganda juga mengerahkan massa demi memperbesar pengaruh. Sejak Juli 1960, partai ini rajin melontarkan kritik tajam terhadap tentara maupun kabinet.
Situasi yang tersebut memanas yang dimaksud akhirnya mengakibatkan reaksi balik dari pihak militer. Namun, Presiden Soekarno turun tangan menengahi sehingga ketegangan bisa jadi mereda sementara. Ironisnya, keadaan ini justru mempererat kedekatan antara PKI dengan Soekarno.
Keputusan Soekarno pada Agustus 1960 untuk membubarkan Partai Sosialis Tanah Air (PSI) dan juga Masyumi semakin membuka ruang gerak PKI. Sementara itu, PNI kemudian NU juga secara perlahan melemah. Support Soekarno yang dimaksud terlihat condong ke arah PKI menyebabkan sikap partai ini semakin percaya diri.
Di sisi lain, kelompok intelektual yang dimaksud menentang pengaruh ideologi asing pada kebudayaan nasional kemudian melahirkan Manifesto Kebudayaan (Manikebu). Namun, naskah ini segera ditentang keras oleh Lembaga Kebudayaan Rakyat (Lekra) yang mana berafiliasi dengan PKI, hingga akhirnya Soekarno melarang Manikebu.
Bersamaan dengan itu, aksi-aksi radikal mulai marak, menyasar pejabat, tentara, tuan tanah, maupun tokoh desa. Ketegangan kian meningkat, terlebih hubungan PKI lalu Angkatan Darat semakin memburuk.
Para pemimpin PKI tak henti menyerang AD dengan tuduhan sebagai birokrat korup lalu kaki tangan kapitalis. Tempat PKI pada DKI Jakarta pun semakin kuat. Bahkan sempat muncul usulan pembentukan angkatan bersenjata kelima yang tersebut terdiri dari buruh kemudian petani bersenjata, meskipun gagasan ini akhirnya gagal.
PKI juga menuding adanya Dewan Jenderal di dalam tubuh AD yang tersebut sedang merancang kudeta. Ketegangan yang disebutkan makin diperparah di mana Soekarno mendadak jatuh sakit pada Juli 1965.
DN Aidit bahkan menyebabkan tim dokter dari Tiongkok untuk memeriksa situasi presiden. Hasilnya, disebutkan bahwa kesejahteraan Soekarno menjadi lebih buruk juga dikhawatirkan tak akan bertahan lama. Situasi ini menyokong PKI untuk segera mengambil langkah. Pada 28 September 1965, digelarlah rapat penting yang tersebut memutuskan bahwa merek harus segera bertindak.
Kronologi perkembangan G30S PKI
Pada waktu malam 30 September menuju 1 Oktober 1965, pasukan pada bawah komando Letkol Untung dari Cakrabirawa berpindah dari markas merekan ke Lubang Buaya. Pasukan sepak bola yang dimaksud dibagi menjadi kelompok-kelompok kecil dengan tugas utama menculik para jenderal.
Sekitar pukul 03.15 WIB, aksi penculikan dimulai. Enam jenderal berhasil ditangkap, yaitu:
- Letjen Ahmad Yani
- Mayjen S. Parman
- Mayjen M.T. Haryono
- Mayjen R. Suprapto
- Brigjen D.I. Panjaitan
- Brigjen Sutoyo Siswomiharjo
Sementara itu, Jenderal A.H. Nasution selamat dari upaya penculikan, meskipun putri-nya, Ade Irma Suryani, tertembak hingga meninggal, lalu ajudan-nya, Pierre Tendean, terlibat diculik. Para jenderal yang tersebut berhasil ditangkap kemudian dibawa ke Lubang Buaya, dibunuh, kemudian jenazah mereka itu dimasukkan ke di sebuah sumur tua.
Gerakan G30S PKI tidak ada cuma berjalan ke Jakarta, tetapi juga merambah Yogyakarta. Di sana, dua perwira Angkatan Darat yang tersebut dikenal anti-PKI, yakni Kolonel Katamso kemudian Letnan Kolonel Sugiono, diculik serta dibunuh.
Keesokan paginya, setelahnya penculikan dan juga pembunuhan itu, Letkol Untung melalui siaran Radio Republik Negara Indonesia (RRI) mengumumkan pembentukan “Dewan Revolusi”.
Pengumuman ini justru mengakibatkan kebingungan dalam kalangan masyarakat. Sekitar pukul 07.00 WIB, RRI kembali menyiarkan pernyataan Untung Syamsuri yang mengatakan bahwa G30S PKI telah terjadi berhasil menguasai beberapa orang titik strategis di dalam Ibukota Indonesia dengan unsur militer lainnya. Mereka bahkan menuding pergerakan ini terkait dengan CIA yang digunakan disebut ingin menyingkirkan Presiden Soekarno.
Operasi penumpasan G30S PKI dimulai sore hari pada 1 Oktober 1965. Tim sepak bola RPKAD pimpinan Kolonel Sarwo Edhie Wibowo, dibantu satuan Para Kujang/328 Siliwangi juga kavaleri, berhasil merebut kembali binaan RRI pusat juga Kantor Pusat Pertelekomunikasian tanpa perlawanan berarti.
Setelah diketahui bahwa markas utama G30S PKI berada pada sekitar Halim Perdanakusuma, pasukan segera berpindah ke sana. Pada 2 Oktober, Halim berhasil direbut oleh RPKAD ke bawah komando Kolonel Sarwo Edhie Wibowo menghadapi perintah Mayjen Soeharto. Menjelang siang hari, seluruh kawasan itu sudah ada dikuasai Angkatan Darat.
Kemudian, pada Hari Minggu 3 Oktober 1965, pasukan RPKAD yang mana dipimpin Mayor C.I. Santoso menguasai tempat Lubang Buaya. Dari informasi Kopral Satu Polisi Sukirman mantan tawanan G30S PKI yang tersebut berhasil melarikan diri diketahui bahwa para perwira yang mana diculik memang benar dibawa ke sana.
Setelah diwujudkan penyelidikan mendalam, akhirnya ditemukan sumur sedalam kurang lebih lanjut 12 meter dengan diameter sekitar ¾ meter, tempat jenazah para perwira dimasukkan. Sumur inilah yang digunakan kemudian dikenal dengan nama Sumur Lubang Buaya.