Blog

Harga Minyak Mendidih Lagi, Planet Tunggu Sinyal Genting dari Amerika Serikat

  • Pasar keuangan Indonesi kembali ditutup beragam, IHSG menguat sementara rupiah melemah
  • Wall Street bangkit setelahnya ambruk, ditopang membaiknya laporan kinerja keuangan perusahaan
  • Musim laporan keuangan, harga jual minyak yang tersebut kembali mendidih, dan juga pemuaian Negeri Paman Sam akan menjadi penggerak bursa hari ini

Jakarta, CNBC Indonesia – Pasar keuangan Nusantara kembali menggerakkan beragam pada perdagangan kemarin. Pasar saham menguat sementara rupiah melemah.

Pasar keuangan Tanah Air diperkirakan masih akan melakukan aksi volatile pada hari ini, hari terakhir pekan (24/10/2025). Selengkapnya mengenai sentimen bursa keuangan sanggup dibaca pada halaman 3 artikel ini. 

 Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ditutup menguat 1,49% atau 121,8 poin ke 8274,35 pada perdagangan, Kamis (23/10/2025).

Indeks bergerak pada rentang 8.179,61-8.268,79. Sebanyak 405 saham naik, 254 turun, dan 152 tak bergerak. Skor proses mencapai Rupiah 21,1 triliun, melibatkan 31,3  miliar saham. Eksternal mencatatkan data net buy sebesar Mata Uang Rupiah 1,08 triliun.

Mengutip Refinitiv, nyaris seluruh sektor berada pada zona hijau. Konsumer primer mengatur penguatan dengan kenaikan 3,33%. Kemudian disertai oleh properti 2,45% kemudian teknologi 2,1%.

Hanya utilitas serta energi yang digunakan berada ke zona merah dengan penurunan per individu -0,34% dan juga -0,67%.

Sementara itu, saham Telkom (TLKM) berubah menjadi penopang utama IHSG kemarin dengan kontribusi 25,18 indeks poin. TLKM melanjutkan penguatan kembali kemarin, naik 6,98% ke level 3.370.

Kemudian saham-saham bank jumbo mengalami rebound siang ini setelahnya koreksi pada perdagangan kemarin, sesaat setelahnya Bank Indonesia mengumumkan mempertahankan suku bunga acuan pada level 4,75%.

PT Bank Rakyat Tanah Air (BBRI), PT Bank Mandiri (BMRI), lalu PT Bank Negara Indonesia  (BBNI) setiap menyumbang 9,93 indeks poin, 7,023 indeks poin, kemudian 6,79 indeks poin. Pun beberapa jumlah saham konglomerat kembali bergeliat.

Pradiksu Gunatama (PGUN) milik Haji Isam pada pembukaan I kemarin telah naik 19,97% juga menyumbang 3,21 indeks poin. Begitu pula dengan saham Jaya Maju Makmur Sentosa (RISE) milik Hermanto Tanoko kembali naik hingga menyentuh auto reject melawan (ARA) kemudian menyumbang 6,92 indeks poin.

Sementara itu, rupiah melemah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) pada penutupan perdagangan kemarin, Kamis (23/10/2025).

Melansir data Refinitiv, rupiah tercatat turun 0,27% ke sikap Rp16.615/US$. Pelemahan ini berbanding terbalik dengan penguatan 0,09% pada perdagangan Rabu (22/10/2025).

Pergerakan rupiah kemarin dibayangi beberapa jumlah sentimen, teristimewa kebijakan suku bunga Bank Tanah Air (BI).

Dalam pengumuman hasil Rapat Dewan Pemimpin wilayah (RDG BI), Rabu (22/10/2025), BI memutuskan untuk menahan suku bunga acuannya dalam level 4,75% pada Oktober ini.

Selain itu, shutdown belum juga berakhir dikarenakan Partai Demokrat pada Senat menolak untuk menyetujui rancangan undang-undang pendanaan sementara pemerintah yang dimaksud diajukan Partai Republik, sebab tidak ada mencakup tambahan anggaran untuk layanan kesejahteraan juga ketentuan lainnya.

DXY juga sedang mengalami penguatan ke level 99.026 atau naik 12 basis poin dari hari sebelumnya di level 99.014

Di sedang gejolak eksternal lalu sentimen kenaikan nilai tukar minyak mentah, bursa Surat Berharga Negara (SBN) justru menunjukkan penguatan. Hal ini tercermin dari yield (imbal hasil) SBN tenor 10 tahun yang mana melandai sedikit ke level 5,993%.

Penurunan yield mengindikasikan harga jual obligasi sedang naik dikarenakan diburu penanam modal kemarin.

Pergerakan SBN yang mana berlawanan arah dengan Rupiah ini mengindikasikan dua hal. Pertama, lingkungan ekonomi mengapresiasi sinyal stabilitas dari BI yang tersebut menahan suku bunga, memproduksi yield SBN pada waktu ini dianggap menantang untuk lock-in.

Kedua, ancaman pemuaian dari kenaikan biaya minyak mentah global. Kenaikan nilai minyak adalah ‘musuh utama’ bagi aset pendapatan tetap seperti obligasi. Jika tarif minyak naik, ekspektasi naiknya harga akan melonjak.

Hal ini memiliki kemungkinan merubah arah kebijakan oleh The Fed sehingga pangsa secara menyeluruh berada pada kondisi wait and see terhadap instrumen pembangunan ekonomi obligasi khususnya instrumen obligasi di dalam negara tumbuh di dalam kacamata penanam modal asing yang dimaksud masih menyimpan resiko yang mana mampu terbentuk pada negara tersebut.

Next Page

Wall Street Akhirnya Bangkit

Pages
Next

Related Articles

Back to top button