Boikot Global Terhadap negara Israel Makin Meledak, Ini adalah Dampaknya

Daftar Isi
- Pelanggan Beralih ke Barang Lokal
- Pengaruh Sektor Bisnis Mulai Terasa
- Pengawasan PBB dan juga Tantangan ke Depan
Jakarta – Gelombang boikot terhadap negeri Israel menghadapi perlakuannya di Wilayah Gaza sekarang ini mencapai titik tertinggi. Siaran secara langsung dugaan genosida dalam wilayah yang dimaksud membangkitkan solidaritas global yang meluas, dengan jutaan penduduk turun ke jalan, universitas memutuskan hubungan dengan mitra Israel, hingga program boikot yang tersebut semakin populer di dalam kalangan konsumen.
Menurut data Armed Conflict Location & Event Fakta Project (ACLED), di dua tahun terakhir terdapat sekitar 49.000 aksi pro-Palestina ke 133 negara kemudian wilayah. Jumlah demonstrasi antara Mei hingga September 2025 naik 43% dibandingkan dengan lima bulan sebelumnya. Negara dengan jumlah agregat mengecam tertinggi antara lain Yaman (15.266), Maroko (5.482), Amerika Serikat (5.346), Turki (2.349), dan juga Iran (1.919).
Pendiri pergerakan Boycott, Divestment, and Sanctions (BDS), Omar Barghouti, mengatakan isolasi kegiatan ekonomi lalu urusan politik negara Israel sekarang ini semakin terasa.
“Gerakan BDS telah lama memainkan peran paling penting pada memperburuk isolasi rezim negeri Israel yang tersebut terdiri dari kolonialisme pemukim, apartheid, kemudian sekarang genosida,” kata Barghouti untuk Al Jazeera, dikutipkan Rabu (29/10/2025). Ia menambahkan, bahkan pejabat negara Israel sendiri mengakui tantangan akibat tekanan global.
Boikot dunia usaha kemudian organisasi BDS menghadirkan tantangan besar, juga di beberapa negara kami terpaksa beroperasi dalam bawah radar,” ujar Ketua Institut Ekspor Israel, Avi Balashnikov, di konferensi teknologi tahun lalu.
Konsumen Beralih ke Barang Lokal
Boikot terhadap komoditas lalu merek yang tersebut terafiliasi dengan negara Israel saat ini meluas hingga level rumah tangga. Di Uni Emirat Arab, Sumayya Rashid, 45 tahun, mengatakan keluarganya berhenti membeli produk-produk dari jaringan cepat saji internasional.
“Kami tiada lagi membeli apa pun dari McDonald’s, KFC, Pizza Hut, atau Carrefour. Kami beralih ke barang lokal,” katanya.
Sementara di Kanada, Jaspreet Kaur, 26 tahun, mengaku berupaya memboikot produk-produk global yang digunakan dikaitkan dengan dukungan terhadap Israel.
“Saya tidaklah ingat kapan terakhir kali saya makan pada Starbucks atau McDonald’s. Saya menggunakan program untuk memeriksa barang sebelum membeli,” ujarnya.
Aplikasi seperti Boycat sekarang membantu konsumen mengidentifikasi hasil yang dimaksud masuk daftar boikot, bekerja sebanding dengan jaringan BDS untuk memperbarui daftar merek yang dimaksud terlibat di kebijakan pendudukan Israel.
Dampak Sektor Bisnis Mulai Terasa
Dampak dari gelombang boikot mulai dirasakan pada sektor kegiatan bisnis global. Pada November 2024, jaringan ritel Prancis Carrefour menghentikan seluruh tokonya di dalam Yordania serta banyak negara Teluk seperti Kuwait, Oman, kemudian Bahrain, setelahnya dituding mempunyai hubungan usaha dengan perusahaan tanah Israel di wilayah pendudukan.
Raksasa makanan cepat saji McDonald’s lalu jaringan kopi Starbucks juga melaporkan penurunan jualan signifikan pada Timur Tengah juga negara-negara mayoritas Muslim seperti Malaya dan juga Indonesia. pimpinan McDonald’s Chris Kempczinski bahkan mengatakan dampak boikot sebagai “signifikan” pada panggilan kinerja pada Januari 2024.
Starbucks mencatat penurunan pendapatan global sebesar 2% pada 2024 kemudian pada September sesudah itu mengumumkan restrukturisasi senilai US$1 miliar (sekitar Rp16,6 triliun) dengan menghentikan puluhan gerai ke Negeri Paman Sam dan juga merumahkan 900 karyawan.
Selain korporasi, tekanan juga muncul dalam tingkat pemerintah. Pada September 2025, Spanyol membatalkan kontrak senjata dengan tanah Israel senilai 700 jt euro (sekitar Rp12,4 triliun) serta memberlakukan larangan perdagangan militer. Sejumlah dana pensiun dalam Norwegia, Prancis, Irlandia, Denmark, lalu Belanda juga melakukan divestasi dari perusahaan yang terkait permukiman ilegal Israel, diantaranya Caterpillar juga TripAdvisor.
Negara-negara seperti Australia, Kanada, Inggris, kemudian Norwegia turut menjatuhkan sanksi terhadap menteri sayap kanan tanah Israel Itamar Ben-Gvir juga Bezalel Smotrich melawan tuduhan menghasut kekerasan terhadap warga Palestina.
Pengawasan PBB serta Tantangan ke Depan
Kantor HAM PBB sejak 2020 memantau 158 perusahaan yang tersebut beroperasi ke permukiman ilegal negara Israel ke Tepi Barat, di antaranya nama-nama besar seperti Airbnb, Booking.com, Expedia, Motorola, serta TripAdvisor.
Meski hampir 90% perusahaan yang dimaksud berbasis di dalam Israel, daftar itu juga mencakup perusahaan dengan syarat Kanada, China, Prancis, Jerman, Belanda, serta AS.
Para analis menafsirkan bahwa aksi boikot saat ini bukanlah hanya saja bentuk solidaritas moral, tetapi sudah ada menjadi tekanan perekonomian juga diplomatik yang nyata terhadap Israel. Namun, efektivitas jangka panjangnya akan bergantung pada keberlanjutan aksi kemudian sikap pemerintah dan juga institusi keuangan besar pada dunia.



