SEPAK BOLA

Alasan Industri Petrokimia RI Masih Bergantung Bahan Baku Impor

Jakarta – Kementerian Pertambangan (Kemenperin) menegaskan, penguatan lapangan usaha petrokimia nasional berubah menjadi kunci untuk melindungi ketersediaan material baku bagi bermacam sektor hilir. Industri petrokimia memegang peran vital sebagai pemasok utama untuk plastik, serat sintetis, karet sintetis, material kimia fungsional, hingga materi baku penting bagi bidang tekstil serta farmasi.

“Kebutuhan bidang petrokimia nasional terus meningkat pesat, namun kapasitas produksi di negeri belum mampu mengimbanginya. Ini adalah menyebabkan ketergantungan yang mana sangat besar terhadap impor. Karena itu, penguatan susunan lapangan usaha hulu berubah menjadi urgensi nasional,” ujar Direktur Industri Kimia Hulu, Direktorat Jenderal Industri Kimia, Farmasi kemudian Tekstil (IKFT) Kemenperin Wiwik Pudjiastuti di diskusi Forwin di Sentul, Bogor, Hari Jumat (14/11/2025).

Pada Triwulan III-2025, peningkatan sektor IKFT mencapai 5,92%, melampaui perkembangan kegiatan ekonomi nasional. Adapun subsektor Industri Kimia, Farmasi, serta Penyelesaian Tradisional mencatatkan data perkembangan signifikan sebesar 11,65%, menunjukkan permintaan unsur baku kimia yang mana terus meningkat.

Namun pada balik tren pertumbuhan tersebut, Negara Indonesia masih menghadapi kesenjangan besar antara kapasitas produksi dan juga keinginan petrokimia domestik. Pada barang olefin seperti etilen kemudian propilen, utilisasi pabrik sudah ada mencapai 75%, tetapi pasokan terus belum mencukupi. Kekurangan etilen diperkirakan mencapai 800 ribu ton sehingga impor harus dilakukan.

Kondisi sejenis berjalan pada produk-produk aromatik seperti p-xylene yang dimaksud hanya sekali mempunyai utilisasi 44%. Kekurangan p-xylene tercatat sekitar 500 ribu ton, padahal unsur ini sangat penting untuk produksi PTA sebagai unsur baku polyester juga PET.

Pada kelompok komponen kimia fungsional berbasis minyak, Mono Ethylene Glycol (MEG) berubah menjadi komoditas dengan defisit terbesar, yakni mencapai 400 ribu ton. MEG sama-sama p-xylene berubah menjadi komponen kritis bagi keberlangsungan lapangan usaha tekstil berbasis polyester.

Sementara itu, sektor komponen baku plastik bermetamorfosis menjadi salah satu yang paling terdampak. Kebutuhan nasional mencapai 4.879 KTA, tetapi pasokan di negeri baru 2.957 KTA, menyisakan gap sebesar 1.922 KTA. Tingginya permintaan terhadap polimer seperti Polyethylene (PE) serta Polypropylene (PP) memproduksi impor terus membengkak hingga mencapai US$2,9 miliar pada 2024.

“Selama gap supply-demand masih selebar ini, kita bukan punya pilihan selain mengimpor. Namun ke depan, keadaan ini harus ditekan melalui pembangunan kapasitas baru kemudian integrasi bidang dari hulu ke hilir,” tegasnya.

Sejumlah tantangan besar masih menghambat pengembangan bidang petrokimia nasional. Mulai dari ketergantungan material baku nafta kemudian LPG impor, belum optimalnya integrasi kilang minyak dan juga pabrik petrokimia, hingga kebijakan harga jual gas yang membatasi pelaku lapangan usaha tertentu pada mengakses gas bumi.

Selain itu, ketiadaan kawasan bidang kimia terintegrasi juga tekanan dari komoditas petrokimia berbiaya rendah akibat perjanjian perdagangan bebas seperti UAE-CEPA menambah beban kompetisi bagi lapangan usaha pada negeri.

“Di berada dalam persaingan global yang dimaksud sangat ketat, sektor petrokimia kita hanya sekali bisa jadi bertahan bila miliki pasokan material baku yang mana kuat, terintegrasi, kemudian biaya produksi yang tersebut efisien,” ujar Wiwik.

Sementara itu, Sekretaris Jenderal Asosiasi Olefin, Aromatik, dan juga Plastik Negara Indonesia (INAPLAS) Fajar Budiono mengungkapkan, kenaikan defisit materi baku petrokimia tidak semata-mata menjadi beban bagi sektor hulu, tetapi juga menghambat peningkatan lapangan usaha hilir yang tersebut membutuhkan pasokan stabil dengan harga jual kompetitif.

“Kondisi defisit yang kita hadapi setiap tahun menunjukkan bahwa ketergantungan terhadap impor telah tidaklah dapat dipertahankan lagi. Industri hilir kita berkembang pesat, sementara kapasitas hulu belum mengikuti. Karena itu, roadmap 2025-2045 berubah menjadi sangat penting sebagai panduan akselerasi konstruksi bidang petrokimia nasional,” jelas Fajar.

Ia juga menekankan bahwa roadmap yang dimaksud tiada semata fokus pada peningkatan kapasitas produksi, tetapi juga pada penguatan integrasi antara refinery kemudian cracker sehingga Nusantara mampu menghadirkan produk-produk petrokimia yang tambahan kompetitif, menghemat devisa, juga meningkatkan kekuatan bentuk lapangan usaha secara menyeluruh.

“Integrasi refinery serta petrokimia akan memberikan keuntungan besar bagi negara. Biaya logistik turun, item tambahan kompetitif, lalu kita dapat menghurangi devisa impor yang digunakan selama ini membebani neraca perdagangan. Itu sebabnya perkembangan GRR juga cracker baru menjadi prioritas pada roadmap,” sebut Fajar.

(dce)
[Gambas:Video CNBC] Next Article Video: Bisnis Makanan & Minuman Jadi Andalan ke Kuartal I-2025

Related Articles

Back to top button