OTOMOTIF

Sejarah Arseto Solo, raksasa sepak bola era Galatama di dalam masa Orde Baru

DKI Jakarta – Tidak belaka Persis, kota Solo juga pernah memiliki nama besar lain pada kancah sepak bola nasional khusunya di area era Galatama, nama itu adalah Arseto Solo.

Klub ini muncul sebagai kekuatan sepak bola Surakarta dalam berada dalam persaingan era Galatama, liga sepak bola nasional ketika itu.

Nama Arseto Solo menjelma sebagai simbol perjuangan juga filosofi lokalitas publik Surakarta dan juga sekitarnya pada sepak bola Indonesia.

Berdiri pada tahun 1978, klub ini bukan belaka menjadi kontestan kompetisi elit Kejuaraan Sepak Bola Utama, tetapi juga mewakili semangat olahraga dari Perkotaan Surakarta.

Awal mula kemudian filosofi nama

Arseto atau Aryo Seto Football Club, didirikan oleh Sigid Harjoyudanto, putra dari Presiden Soeharto. Nama Arseto dipercaya berasal dari tokoh pewayangan Aryo Seto yang melambangkan keberanian, atau dari nama putra Sigid, Ari Sigit Soeharto.

Pada awalnya, Arseto bermarkas di area Ibukota Indonesia sebelum akhirnya pindah ke Solo pada 1983. Perpindahan ini terjadi seiring dengan peresmian Stadion Sriwedari yang dimaksud menjadi tonggak sejarah pencanangan Hari Olahraga Nasional oleh Presiden Soeharto pada tanggal 9 September 1983.

Bersama 13 kelompok lainnya, Arseto menjadi pelopor Galatama, kompetisi yang mana dirancang untuk profesionalisasi sepak bola Indonesia.

Di balik nama besar ini, ada prinsip kuat yang dipegang, yaitu Arseto belaka menggunakan pemain lokal. Filosofi ini tak cuma mempertegas identitas klub, tetapi juga menjadi fondasi bagi regenerasi sepak bola Tanah Air.

Perjuangan "Tim Biru Langit"

Berbalut warna kebanggaan biru muda, Arseto mendapat julukan "Tim Biru Langit". Adapun julukan lainnya adalah "The Cannon", mencerminkan energi tanpa henti yang dimaksud diperlihatkan para pemainnya di tempat lapangan.

Sejak awal, klub ini dikenal sebagai kekuatan yang tak mudah dipatahkan, bahkan di area berada dalam persaingan ketat dengan tim-tim lain di tempat era Galatama.

Namun, perjalanan Arseto bukanlah sekadar cerita tentang kemenangan di dalam lapangan. Dengan fokus pada pengembangan pemain lokal, Arseto menjadi tempat lahirnya talenta berbakat seperti Ricky Yacob, Sudirman, Rochy Putiray, dan juga I Komang Putra, yang tersebut kemudian menguatkan pasukan nasional Indonesia.

Kilas balik prestasi

Prestasi Arseto Solo berbicara banyak tentang dedikasi mereka:

  • 1985: Juara Piala Kejuaraan I
  • 1985: Juara Invitasi Perserikatan Galatama
  • 1992: Juara Kompetisi Galatama
  • 1993: Wakil Indonesia pada Kejuaraan Antarklub Asia

Salah satu pencapaian paling gemilang dia adalah pada waktu mewakili Indonesia di dalam Turnamen Champions Asia 1992/1993.

Setelah mengalahkan Perkotaan Rangers FC dari Brunei Darussalam dan juga Thai Farmers Bank dari Thailand, Arseto berhasil melangkah ke fase grup semifinal.

Mereka berhadapan dengan klub-klub kuat seperti Yomiuri FC (Jepang) dan juga Al-Shabab (Arab Saudi). Meski akhirnya berhenti di tempat fase ini, keberhasilan mereka mencapai tujuh besar merupakan kebanggaan besar bagi perkembangan sepak bola Indonesia.

Arema bantai Arseto Pemain Arema Malang, Engelberd (kanan) mencoba menyeberangi hadangan pemain Arseto Solo, Wawan Apriyanto, di pertandingan persahabatan dalam Stadion Manahan, Solo, Jateng, Kamis (15/11). Arema berhasil menang telak dengan skor 7-0. (ANTARA/Akbar Nugroho Gumay)

Akhir kisah sang legenda

Sayangnya, pada tahun 1998, Arseto Solo harus mengakhiri kiprahnya. Gelombang kerusuhan sosial-politik yang tersebut melanda Indonesia pada waktu itu turut mempengaruhi eksistensi klub yang digunakan dimiliki keluarga Presiden Soeharto yang digunakan ketika itu lengser.

Pertandingan terakhir merekan melawan Pelita Jaya pada 6 Mei 1998 menjadi momen perpisahan yang dimaksud pahit bagi para pendukung setianya yang digunakan mempunyai nama KPAS (Komunitas Pecinta Arseto Solo).

Pertandingan ini juga berujung kerusuhan yang mana merupakan bagian dari rentetan kejadian kerusuhan Mei 98.

Asa untuk kembali

Di balik kepergian Arseto Solo, ada harapan yang dimaksud terus hidup. Mantan manajer klub, Prof. Brodjo Sudjono, sempat memprakarsai gagasan untuk menghidupkan kembali Arseto.

Melalui pertandingan persahabatan antara Unsa-ASMI Solo juga All Star Arseto dalam Stadion Manahan, wacana ini mulai diperbincangkan. Bantuan pun datang dari berbagai pihak, termasuk pemerintah tempat yang ingin Arseto kembali menjadi kebanggaan Perkotaan Solo.

Warisan yang abadi

Meskipun tak lagi aktif, Arseto Solo masih hidup pada memori kolektif para pecinta sepak bola Indonesia. Filosofi mereka itu tentang pentingnya pengembangan pemain lokal, semangat yang mana tak kenal lelah, kemudian perjuangan melawan raksasa sepak bola Asia menjadikan mereka tambahan dari sekadar klub.

Arseto adalah simbol bahwa olahraga tidak semata-mata tentang kemenangan, tapi ini tentang semangat yang tak pernah padam, filosofi, serta inspirasi yang tersebut diwariskan untuk generasi berikutnya.

Hari ini, nama Arseto tetap memperlihatkan dikenang sebagai salah satu regu besar yang dimaksud pernah berjaya pada sepak bola Indonesia, khususnya era Galatama.

Bagi mereka yang tersebut pernah menyaksikan kiprahnya, Arseto Solo adalah bukti bahwa warisan sejati tidaklah pernah benar-benar mati.

Related Articles

Back to top button